Corat Coret

Sunday, October 07, 2007

JARINGAN BISNIS CINA PERANTAUAN

Oleh : Adig Suwandi

MINORITAS Cina atau keturunan Cina hanya sekitar 2 persen dari seluruh penduduk, atau 4-5 juta di antara hampir 200 juta penduduk Indonesia.
Secara numerik memang tidak berarti banyak, namun peran ekonomis dan finansial yang secara konkret dijalankan oleh suatu komunitas sosial ini adalah penting. Menelusuri Jalan Malioboro atau Jalan Solo, pusat perdagangan dan bisnis paling penting di Yogyakarta misalnya, jelas kelihatan dominasi toko-toko milik keturunan Cina. Demikian pula halnya di kota-kota kecil dan menengah lainnya.

Di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, dan Ujungpandang mulai terlihat variasi lebih besar antara toko-toko keturunan Cina dan pribumi. Meskipun demikian, kelompok usahawan: industrialis, khususnya para manufacturers; pedagang eceran yang merupakan inti ekonomi pasar modern sejak akhir abad ke-18; para profesional, dokter, pengacara, akuntan; serta pelbagai golongan yang paling produktif baik dalam bidang industri dan jasa-jasa masih didominasi keturunan Cina.

Di seluruh penjuru dunia, Cina Perantauan (Overseas Chinese) mengalami kebangkitan dan jaringan bisnisnya yang dikenal sebagai Nan Yang Inc. disebut-sebut bakal menjadi motor utama kekuatan ekonomi Asia Pasifik abad ke-21. Bahkan sekarang ini, 90 persen atau senilai 1,138 trilyun dollar Amerika dari kapitalisasi pasar 1.000 perusahaan terbesar di 10 bursa Asia Pasifik adalah milik jaringan Nan Yang Inc.

Jaringan ini sebenarnya hanya berkiblat kepada peluang bisnis dan kekuatan pasar yang murni, tidak ikut dalam politik praktis, tetapi mereka memang menjadi kawanan tertentu (hopeng). Mereka sudah berkiblat kepada tanah air baru mereka, tetapi RRC memang cenderung ingin mengeksploitasi solidaritas etnis primordial untuk menarik investasi dari jaringan bisnis Cina Perantauan.

Di Indonesia jaringan bisnis Cina Perantauan (nonpribumi) juga berkembang pesat. Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), pada tahun 1994 total aset dari 300 konglomerat mencapai Rp 271,887 trilyun, diperkirakan 78,3 persen atau senilai Rp 212.832 trilyun merupakan aset pengusaha nonpribumi (CIA = Cina, India, dan Arab). Sementara pengusaha pribumi menguasai aset sekitar 17,9 persen atau senilai 48,674 trilyun, sisanya 3,8 persen merupakan usaha asimilasi.

Yang unik, jaringan bisnis tersebut sebagian besar sudah menjadi warga negara tempat mereka lahir dan/atau berdomisili serta sudah membaur dengan masyarakat pribumi setempat. Sentimen etnis memang dapat saja bermunculan, tetapi pemicu utamanya lebih terletak pada kesenjangan sosial dan marginalisasi ekonomi kelompok yang semakin mengental pada era konglomerasi. Kawasan Asia Timur

Cina Perantauan sudah mendominasi perdagangan dan investasi di seluruh negara kawasan Asia Timur, kecuali Jepang dan Korea Selatan. Orang-orang keturunan Cina di Hongkong, Taiwan, dan Singapura memasok lebih banyak modal dan investasi asing di kawasan dibanding Jepang. Orang-orang keturunan Cina adalah sebuah jaringan di dalam jaringan yang kini menjadi pilar paradigma baru dalam kerangka kerja ekonomi negara.

Cadangan yang dikuasai Nan Yang Inc. atau investor dari Taiwan, Hongkong, Singapura, dan para pengusaha keturunan Cina di Asia Tenggara yang merupakan komponen World Chinesse Entrepreuners Convention (WCEC) sekitar 237 trilyun dollar Amerika atau hampir 1,5 kali cadangan devisa ASEAN sebesar 176 milyar dollar atau sepertiga dari GDP ASEAN 10 yang besarnya 1,61 trilyun dollar. Realisasi investasinya di Indonesia konon sudah mencapai 6,6 milyar dollar atau 19,3 persen dari total realisasi kumulatif sejak 1967 sampai Agustus 1995, sementara jika ditinjau dari persetujuan kumulatifnya mencapai 30,4 milyar dollar atau 23,8 persen dari total sejumlah 127,5 milyar dollar serta yang teratas mengalahkan jaringan lainnya, termasuk Jepang.

Semua pemain kunci di antara orang-orang ini saling mengenal. Bisnis mereka merupakan bagian tersendiri, tetapi mereka bekerja sama kalau diperlukan. Secara intensif sangat kompetitif di antara mereka sendiri.

Harus disadari bahwa bangkitnya kapitalisme Cina di Asia Tenggara sebagian besar disebabkan kemampuan kaum keturunan Cina meniru prestasi-prestasi modal Barat di bagian dunia tersebut. Pola-pola investasi Barat tidaklah sulit ditiru karena tidak banyak melibatkan teknologi.

Contoh-contoh dari kegiatan awal bisnis Cina Perantauan mencakup perdagangan dan pemrosesan hasil bumi, seperti padi dan karet.

Perbankan mula-mula terlihat lebih sulit, tetapi kaum Cina Perantauan tidak membutuhkan waktu lama untuk menguasai kiat yang dibutuhkan. Di Hongkong, Taiwan, dan Singapura, di mana mayoritas penduduknya adalah etnis Cina, etos kerja Cina bermanfaat di masa-masa sulit sampai akhirnya ketiga negara ini menjadi pendatang baru dalam barisan negara industri baru (NIB) dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejak tahun 1970-an.

Sebagai ideologi Cina yang dominan selama hampir 2.000 tahun, ajaran Konfusian telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap setiap aspek kehidupan dan kebudayaan orang-orang Cina. Orang-orang Cina Perantauan tidak menganggap diri mereka sebagai penganut Konfusian, tetapi tradisi alamiah orang Cina biasanya amat dipengaruhi filsafat Konfusian. Inilah yang antara lain tercermin dalam kehidupan sosial, dalam hubungan di antara anggota keluarga, antarteman, penghormatan terhadap mereka yang lebih tua, dan dalam hasrat untuk mendapatkan pendidikan.

Ajaran Konfusian tetap merupakan jantung kebudayaan Cina meskipun Budhisme dan ajaran kristen menyebar di Cina, dan Partai Komunis Cina terus-menerus berkampanye untuk mengikis pengaruhnya dalam jiwa bangsa Cina. Kekuatan ini tampaknya menjadi landasan bagi mereka untuk memasuki perekonomian global dan menjadikan abad ke 21 milik mereka.

David C.L. Ch'ng (The Overseas Chinese Entrepreneurs in East Asia, 1993) menilai, secara luas diakui bahwa kebudayaan Cina mempunyai suatu etos kerja yang menekankan pada keuletan dan kerajinan. Sejak peralihan abad ini, para pengamat Barat yang mengamati bangsa Cina telah membuat gambaran stereotipe tentang mereka sebagai pekerja yang tidak kenal lelah.

Setidaknya ada 3 penjelasan yang saling berhubungan tentang etos kerja orang-orang Cina. Pertama, orang-orang Cina dibesarkan dengan nilai-nilai yang berbeda. Nilai positif tentang kerja keras secara kuat ditanamkan dalam diri anak-anak Cina pada usia dini. Bagi komunitas Cina Perantauan, kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks, yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan, rasa percaya, dan hemat, yang dipandang sebagai dasar terakumulasinya kekayaan.

Kedua, etos kerja orang-orang Cina mempunyai orientasi kelompok. Individu tidak bekerja semata-mata untuk keuntungan pribadi, melainkan pertama-tama untuk peningkatan kesejahteraan keluarga dan kemudian untuk kebaikan bersama masyarakat.

Ketiga, orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan imbalan materi. Dalam komunitas Cina Perantauan, kemakmuran, perasaan nyaman, dan aman dalam usia lanjut, menduduki posisi sentral dalam persepsi bersama tentang kehidupan yang baik.

Mencari relevansi

Sebagai negara yang tengah membangun kekuatan ekonomi dan bisnis transformasi sosial-budayanya, ada baiknya kita mencoba mencari relevansi etos kerja orang-orang Cina yang sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Pembaruan etos kerja yang menekankan disiplin, hemat, dan kesanggupan bekerja keras harus menjadi ciri bangsa Indonesia dalam memasuki abad ke-21.

Kepada warga Cina Perantauan sendiri kita berharap bahwa keberhasilan mereka dalam mengakumulasi materi seharusnya dikembalikan untuk memberdayakan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, bukan sekadar bagi sesama etnis.

Persoalan kesenjangan sosial akibat ketidakberdayaan sebagian besar massa pribumi dalam memanfaatkan peluang pembangunan dibandingkan dengan mayoritas Cina Perantauan yang secara ekonomi mempunyai kedudukan demikian kuatnya dalam peta bisnis di negeri ini, seharusnya menyadarkan mereka untuk membangun kemitraan baru berasaskan kesetaraan dan sinergisme.

Memang sudah banyak imbauan dan slogan dikumandangkan dalam upaya mengatasi kesenjangan sosial, namun yang kita perlukan adalah tindakan nyata. Yang kita perlukan justru pembagian kegiatan ekonomi dan bisnis yang lebih proporsional di antara para pelaku pasar yang mengharuskan para pengusaha besar tidak perlu menguasai semua jalur ekonomi. Jalur ekonomi yang dapat diselenggarakan masyarakat harus diserahkan kepada mereka.

* Adig Suwandi, alumnus Univ. Brawijaya, pemerhati sosial-ekonomi.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home